Jumat, 24 November 2017

Like pencil and eraser

LIKE A PENCIL AND ERASER
Karya Bhara Rifal

Kita bagaikan sepasang pensil dan penghapus, berbeda sifat dan beda fungsi namun saling membutuhkan. Kita bagaikan pensil dan penghapus, beda bentuk namun satu tujuan. Kita bagaikan pensil dan penghapus, meski banyak perbedaan namun bersatu dalam membuat goresan indah di atas kertas yang sama

****

"Awww!" Aku meringis saat kakiku tak sengaja menginjak lubang hingga aku terjatuh.

Hey!! Siapa yang naroh disini!

Mana sakit banget lagi. Pemerintah macam apa coba yang biarin jalan berlubang gini... bikin resah aja.

"Sudah kubilang, jangan pernah pulang sendiri tanpaku." suara dingin itu terdengar ditelingaku. Kulirik ia sekilas lalu berusaha berdiri. Ahhh dia rupanya...

"Aww aduh." What the..? Jangan bilang keseleo! Oh no!

"Dasar keras kepala, kau hanya perlu meminta tolong saja susah." pria dingin disampingku ini masih saja menungguku meminta tolong, cihh dasar manusia es. Bahkan dia tak berniat untuk menolongku dengan tulus. Seandainya niat, langsung gendong kek kayak di drama itu loh. Lah ini? Pret!

"Yasudah ayo bantu aku bodoh!"

"Begitukah caramu meminta tolong nona?" ucapnya sambil menaik turunkan alisnya gemas. Dia memanglah tampan namun sayang dia menyebalkan dan sangat datar.

Bukankah itu sudah cara meminta tolong yang baik? Untuk orang yang dibenci tentunya.

"Baiklah tuan berwajah datar.. Aku mohon bantu aku berdiri." huuhh aku benci jika harus memohon kepadanya.
Ia berjongkok di hadapanku sambil menepuk punggungnya yang terbalut seragam putihnya.

"Naiklah, aku akan menggendongmu"

"Apa kau yakin kuat tuan?" tanyaku meremehkannya. Bukannya aku ini berat loh yah... tapi emang cuma mengasihani dia. Siapa tau aja punggung lemahnya jadi sakit.

"Cepatlah, sebelum aku menyeretmu sampai ke rumahmu." jawabnya ketus, huhh benar kan? Dia memang tidak ikhlas.

"Aishh kau ini sangat menyebalkan"

"Hmm"

Begitulah dia, menyebalkan namun kadang membuatku senyum sendiri dengan tingkah manisnya. Tanpa menunggu lama aku naik ke punggungnya, kupeluk leher jenjangnya. Rambut klimisnya begitu wangi meski sudah sore dan belum mandi.

Oh tidak! Apa aku baru saja memujinya? Ahh aku amnesia mungkin.

Kami diam selama perjalanan, seakan asik dengan pikiran masing-masing. Meski kami sering bertengkar karena perbedaan sifat yang sangat jauh, kami tetaplah sahabat.

Ya

Dia sahabatku, manusia tanpa ekspresi yang tinggi kekar ini adalah sahabatku, tetanggaku. Banyak yang bertanya kenapa kami bisa bersahabat dekat dari kecil, padahal kami sangat beda. Mulai dari posturnya yang tinggi berbeda denganku yang kurang tinggi. Dia pintar dan populer sedangkan aku? Sama sekali tidak menonjol.

Baca baik-baik! Kurang tinggi bukan beranti pendek. Aku tidak pendek.

"Bi." panggilnya saat kami masih dalam perjalanan, mungkin ia kelelahan karena menggendongku secara kan biar pendek begini tubuhku cukup berat. Apalagi dengan jarak yang lumayan sudah jauh. Sudah kubilang kan.. dia memang lemah. Cih

"Ya."

"Kenapa kau tadi pergi saat di rooftop?" dia menghela nafas "aku tau kau menghampiriku tadi." sambungnya

What?

"Mm.. I-itu t-ta-tadi aku kebelet, ya aku kebelet."

"Apa kau cemburu dengan nira saat dia menyatakan perasaannya padaku?"

DEG

Jantungku memacu cepat mendengar tuduhannya, apa iya aku cemburu?.

Tapi kenapa? Bukankah itu tidak masalah untukku? Aku kan hanya sahabatnya dan aku membencinya, mungkin.

"Aku menolaknya, karna aku menyukai orang lain." tuturnya lagi
Aku terpaku mendengarnya lagi.

'menyukai orang lain, siapa?' batinku benar-benar kepo saat ini.

Bukan cemburu yah... cuma kepo!

"K-kenapa kau memberitahuku?" tanyaku bodoh, aku benar-benar merasa bodoh dengan pertanyaan itu

"Bukankah sahabat harus saling terbuka?" iya juga, aku mengangguk di punggungnya. Dan kenapa juga aku jadi salah fokus begini.

"Jadi, tidakkah kau mau jujur kenapa kau pergi tadi?"

"A-ku kan sudah bilang aku kebelet tadi!" aku tidak mengerti kenapa aku gugup dengan pertanyaan si manusia es ini

"Tapi kau tidak ke toilet dari tadi."

SKAKMAT

Aku diam,  benar-benar tak berkutik sekarang, huh apa dia mengikutiku?

"Apa kau cemburu?" mungkin

"Tidak!" sayangnya mulut dan otakku tidak singkron. Ahh entahlah mereka memang tidak kompak.

"Apa kau menyukaiku?" mungkin

"Hey, a-aku bahkan sangat membencimu tuan dan selamanya akan selalu begitu!" dia tertawa pelan, uhh dia itu sangat tidak tau kapan waktu untuk tertawa dan tidak.

"Apa yang lucu huh?"

"Apa kau tak sadar, kata-katamu tadi seolah menegaskan kalau kau ingin bersamaku selalu." jawabnya santai. Apa?

"A-apa?"

Dia menghentikan langkahnya di depan sebuah toko, dan mendudukkanku di bangku panjang di tepi trotoar, lalu ikut duduk disampingku.

"Kenapa berhenti disini, apa kau lelah?" tanyaku, kulihat dia menggeleng dan tersenyum.

"Kau lah orang itu." orang? Orang apa?, kurasa dia tak berkata apapun soal orang dari tadi.

"Apa maksudmu?" tanyaku dengan alis terangkat

"Kita memang berbeda, selalu bertengkar, namun aku sadar aku membutuhkanmu, sangat membutuhkanmu" ucapnya sambil menerawang ke atas langit yang mulai senja, matahari perlahan mulai bersembunyi di peralihan
Aku menganga mendengarkan kalimat aneh yang diucapkannya. Kutatap wajahnya yang masih datar, namun terlihat lebih serius kali ini.

"Apa kau baru saja menyatakan bahwa kau menyukaiku?"

Dia menoleh, menatap mataku dengan iris coklatnya yang kelam. Mata yang membuatku selalu ingin memandangnya tak peduli waktu dan tempat. Perlahan senyumnya mengembang tipis, namun itu saja sudah sangat manis.

Apa? Dia? Manis?

No!

"Menurutmu?"

"Entahlah, kata-katamu seolah sedang menembak seorang gadis." tuturku polos, dia tertawa pelan lalu berucap...
"Apa kau seorang gadis nona nabila?" tanyanya dengan senyum miring.

"Tentu saja tuan arya bodoh, kau pikir aku yang cantik ini apa?" sungutku kesal, bisa-bisanya ia mempertanyakan hal itu.

Dia tertawa, lagi?. Ada apa dengannya hari ini, dia sangat sering tertawa dan ini langka.

"Kalau begitu tidak salah lagi, mungkin tebakanmu itu benar"

"Jadi benar kau menyukaiku tuan?" tanyaku dengan nada kaget sekaligus menggoda. Bukan apanya, tapi ini mengejutkan. Tapi... menyenangkan.

Dia tersenyum sebagai jawabannya, kemudian mengedikkan kedua bahunya.

"Well, kau tau kan aku tidak suka ditolak. Lagian ini pertama kalinya bagiku." cihh, bahkan aku belum sempat menjawab tapi seenak jidatnya memutuskan. Dasar manusia otoriter.

"A-pa-apaan itu, aku tidak menyukaimu bodoh!" sungutku tak terima.

"Tapi kau mencintaiku nona keras kepala." ucapnya sambil tersenyum aneh. Belum sempat menjawab dia memotongnya.

"Sudahlah ayo pulang, ini sudah hampir maghrib" dia kembali berjongkok di hadapanku. Aku mengangguk dan memeluk lehernya.

"Kurasa malam ini akan jadi malam yang panjang." ucapnya dengan nada menggoda.

Kurasa ia benar. Benar-benar panjang malam ini.

"Ya, dan ini karnamu." dia cengengesan lagi. Menyebalkan!

"Hmm." singkat sekali, huh dia memang menyebalkan

"Hanya hmm?"

"Iya aku juga mencintaimu." ucapnya cengengesan lagi sampai-sampai bahunya bergetar. Dasar gila!

"Aishh kau ini sangat tidak nyambung, lagian aku tidak pernah berkata aku mencintaimu tuan."

"Tapi aku menyadarinya sebelum kau menyadari perasaanmu sendiri nona manis," sekarang dia jadi cerewet dan suka menggodaku, huh sangat menyebalkan.

"Baiklah, terserahmu saja, jadi apakah sekarang kita pacaran?"

"Tidak perlu, kita sudah dijodohkan, apa kau lupa?" jawabnya santai.

Jodoh? Aku? Ahhh

"Apakah itu serius?" tanyaku, kukira perjodohan itu hanya candaan orang tua kami

"Entahlah, tapi akan kupastikan itu serius." tegasnya, aku mengeratkan pelukanku di lehernya dan tersenyum, dia memang benar kalo aku mencintainya. Sangat mencintainya
Dia manusia es ku yang menyebalkan. Dia sahabat kecilku yang tampan. Dia tetanggaku yang sangat mengesalkan. Dia malaikat pelindungku, dan aku mencintainya. Selalu, selamanya

*****
Profil Penulis: 
Author : bhara rifal
Nama pena : seranggamungil, arbi
B-Star shortstories collection

Senin, 02 Oktober 2017

Punch, sosok dibalik lagu populer dari drama yang melejit

Ok guys, kali ini gue bakal ngebahas tentang Kpop. Mungkin diantara kalian yang Kpopers atau pecinta drama korea pasti gak lagi asing dengan nama PUNCH. Yap, Kali ini gue bakal ngebahas tentang siapa sih ini si punch.

Drama terkenal dari korea tiap tahun selalu saja menarik perhatian. Bukan cuma drama dan pemainnya yang mendapat sorotan, tapi soundtrack yang berkualitas jemlolan juga kerap menjadi incaran para pecinta musik dan drama negara gingseng itu. Dalam kurun waktu 2014 sampai 2017 ini ada beberapa drama melejit yang mampu meraup rating super tinggi, Dan sountracnya juga berhasil menduduki chart lagu dikorea.

Ok, kembali ke punch. Entah kenapa hampir semua drama yang diisi suara soundtracknya oleh gadis 24 tahun ini menjadi booming. Sebut saja descendant of the sun sampai dengan goblin.

Awalnya, punch mulai mengawali karirnya srbagai penyanyi biasa, dan tahun 2014 namanya mulai muncul kepermukaan saat mengisi sountrack drama pinocchio yang dibintangi park shin hye. Di drama itu, punch berduet dengan Rapper kenamaan korea selatan, Tiger Jk. 2015 punch kembali mengisi sountrack di drama school 2015 berduet dengan baechigi.

Profil Punch :

Lahir: 19 Februari 1993 (24 tahun), Korea Selatan
Nama lengkap: Bae Jin-yeong
Label rekaman: PUNCH!, התו השמיני
Album: Chor Bashamaim Hakhulim - Hahofa'a, Rekyl - Del I
Genre: R&B/soul, Rok

Baiklah, sekian artikel tentang punch. Semoga bermanfaat.

Kamis, 28 September 2017

Rama


Title : Rama
Genre : Romance, comedy
Author : Bhara Rifal

Ps : sequel dari cerpen sebelumnya 'Rana'
*****

BRUK!

"Rama!!"

Teriakan itulah yang terakhir didengarnya sebelum semuanya ditelan oleh kegelapan. Semuanya gelap.

'Apa aku mati?'

Tak lama orang di sekitar sana beserta gadis yang meneriakinya pun menghampiri tubuhnya. Teriakan orang- orang untuk segera menghentikan kendaraan yang lewat untuk menolongnya menggema. Hingga tubuhnya dinaikkan ke sebuah taksi untuk menuju ke rumah sakit terdekat.

5 Tahun kemudian...

Setelah kejadian itu, Rama dinyatakan koma selama sebulan. Orangtua Rama sempat pasrah jika Rama sudah tak lagi bisa kembali, namun saat itu juga Rama akhirnya sadar. Dan besoknya ia diterbangkan ke London atas keinginannya sendiri. Rama tak ingin Rana tau, jadi ia meminta orangtuanya untuk berbohong bahwa ia telah mati.

Awalnya berat bagi mereka untuk menerima permintaan Rama. Tapi pada akhirnya mereka setuju, meski agak berat harus berpisah dengan anak semata wayang mereka.

Apa boleh buat...

Kini 5 tahun telah berlalu, Rama sudah kembali pulih sejak 3 tahun lalu, karena banyaknya tulang yang remuk dan juga ada gangguan di sarafnya, makanya penyembuhannya cukup memakan waktu. Di London Rama tinggal bersama neneknya yang merupakan sepupu dari nenek kandungnya, tapi setahun lalu beliau telah meninggal. Cukup sulit bagi Rama kehilangan orang yang selama 4 tahun merawatnya itu.

Jujur saja, selama di London Rama masih kepikiran dengan sahabat kecilnya, Rana. Mulai dari apa kabarnya, apa dia bahagia, sampai apa dia masih ingat Rama atau tidak.

"Kak?"

Rama tersentak. Rasanya seperti ia tertarik dari lamunan nostalgianya ke dunia nyata. Tampak di matanya seorang gadis yang kira-kira lebih muda 2 tahunan darinya. Gadis itu tersenyum sambil melambaikan tangannya di depan wajah Rama.

Rama tersenyum

"Kakak gak papa?" Ucapnya lagi. Matanya menyipit, hidungnya agak mengembung dan itu membuat Rama menahan tawanya.

Gadis itu mengerucutkan bibirnya. Itu semakin membuat Rama susah payah menahan tawa. Hingga akhirnya tawanya lepas.

"Kamu tuh lucu deh, muka jelek gitu dipelihara," ejek Rama sambil menetralkan tawanya.

Gadis itu, Sinta. Sinta adalah sekretaris pribadi Rama. Dua tahun lalu Rama memimpin perusahaan ayahnya cabang London, dan kebetulan saat itu sinta yang tengah mencari pekerjaan sampingan untuk membiayai hidupnya yang saat itu mendapat beasiswa di universitas terkenal di London. Tanpa butuh waktu lama Rama langsung mengangkatnya sebagai sekretaris. Alasannya simpel, karena ia orang Indonesia.

Jangan heran jika Sinta memanggil Rama dengan embel-embel 'kak' bukannya pak atau semacamnya. Itu kemauan Rama, ia tidak ingin dipanggil bapak atau boss, terdengar tua. Awalnya Sinta agak canggung, tapi lama kelamaan ia akhirnya terbiasa.

"Kakak ngeselin."

"Tapi tampan kan?"

"Iya sih,"

"Dan kamu jelek?"

"Ishh gak juga kok, cuma kurang cantik aja." Rama akhirnya kembali tertawa. Sinta memang polos dan apa adanya. Kadang Rama heran sendiri dengan Sinta. Udah jomblo, dia juga terlalu gamblang orangnya.

"Udah ahh.. kakak ada meeting bentar lagi, jadi siap-siap sana!" See... gadis itu memang bisa aja ngeles.

Rama berhenti tertawa, "iya, siapkan berkasnya."

Sinta mengangguk lalu berdiri menuju mejanya yang memang disediakan dalam ruangan Rama. Rama tidak suka sendirian dalam ruangannya, jadi ia meminta untuk memindahkan meja Sinta ke dalam ruangannya. Lumayanlah seruangan sama cewek... bisa ngapain gitu wkwkwk.

****
Rama dan Sinta berjalan beriringan memasuki sebuah lift gedung apartemen. Keduanya memang tinggal di gedung yang sama, bersebelahan apartemen. Itu juga ide dari Rama, ia memberikan unit apartemen untuk Sinta gratis, tapi dengan syarat harus memasak dan membersihkan di apartemen Rama. Sebagai pecinta gratisan dan lagipula memasak ataupun beres-beres itu sudah biasa bagi Sinta jadi ia terima saja. Mumpung gratis! Minggu depan harga naik!

"Cepat ganti baju dan segera kesini, laper." Perintah Rama saat keduanya berada di depan pintu apatemen masing-masing yang tepat berhadapan.

"Iya sama, aku juga laper kali."

"Satu lagi, jangan pake baju kaos longgar seperti semalam lagi, kamu tambah jelek kalo pake itu." Lanjut Rama sambil terkekeh sebelum menutup rapat pintunya.

Sinta hanya mengangkat bahu acuh lalu masuk ke dalam apartemennya juga. Rasanya badannya mau remuk semua, tapi tugasnya belum selesai.

*****

"Kak?"

"Hmmm?" Rama melirik Sinta sekilas. Keduanya sedang duduk dan menonton tv di apartemen Rama.

"Aku boleh ke Indonesia gak?" Tanya sinta pelan.

"Kapan?" tanya Rama sambil meminum kopi yang baru saja dibuatkan oleh Sinta.

"Mmm, besok boleh?"

"Uhuk uhuk!"

"Kakak gak papa?"

"Kamu serius?! Maksudku, yah kenapa mendadak sih?" Tanya Rama agak shock. Lalu siapa yang akan mengurus Rama? Maksudnya yahh.. memasak untuknya dan.. menemaninya. Ini sulit untuk Rama, sulit.

"Aku kangen sama keluarga, udah lama banget gak balik. Aku bahkan udah lulus kuliah tapi belum balik juga. Boleh yah kak?" Mohonnya sambil memasang puppy eyes. Biasanya Rama akan luluh, kalo lagi mood tentunya.

Rama mengangguk pelan, "aku ikut." Itu bukan sebuah usul atau semacamnya. Itu perintah. Sinta hanya mengangguk pelan, tanpa harus menolak atau apa. Lagian ia juga senang bisa terus bersama Rama, jujur saja ia juga berat mau berpisah meski sementara dengan Rama. Tapi... satu yang Sinta takutkan, Rama akan bertemu kembali dengan masa lalunya.

"Aku juga kangen sama mama dan papa," ucap Rama sambil memindahkan channel tv.

"Bukan sama hmmm.." goda Sinta meski agak pahit di lidahnya saat melakukan itu. Entah kenapa, saat Rama bercerita tentang masa lalu dan cinta pertamanya yang mungkin masih sampai saat ini ia merasa sesak di dadanya.

"Mungkin juga itu," jawab Rama tanpa menatap ke arah Sinta. Sinta tersenyum kecut lalu ikut memandang tv dengan tatapan kosong. Tangannya meraih remot yang tadinya dipegang Rama

Setelah itu hening. Keduanya larut dalam pemikiran masing-masing. Tv menyala tapi seakan tak berarti, kedua manusia itu pandangannya kosong ke depan. Hingga Sinta angkat bicara.

"Kak, aku mau tidur duluan. Good night." Ucapnya sambil melambai dan berjalan keluar menuju apartemennya.

Rama hanya tersenyum sebagai jawaban. Tapi tunggu....

"Sinta!!! Remot gue!!"

****

Sinta dengan susah payah menyeret koper Rama yang beratnya minta ampun. Ditambah ransel miliknya juga cukup berat dipunggung gadis itu. Keduanya sudah berada di bandara. Rama berjalan duluan dengan santai, menurut Sinta sih sok ganteng dan sok cool.

"Kak.. bantuin dong!"

"Males."

"Ishhh katanya cowok, masa bantuin cewek aja gak mau. Cowok palsu." Ucapan Sinta langsung membuat Rama membulatkan mata. Bukan karena apanya, tapi suara Sinta cukup besar dan membuat Rama malu.

"Hey, kamu kalo ngomong tuh jangan kenceng-kenceng dong." Bisik Rama tajam lalu mengambil alih koper di tangan Sinta.

"Sekalian nih," Sinta terkekeh lalu menyodorkan ransel miliknya ke Rama. Rama hanya melotot tak percaya melihat Sinta yang telah melenggang pergi.

Rama mendengus kasar, "Dasar sekertaris tak tau diri," desisnya.

"Kak ayo cepat! Nanti keburu ketinggalan pesawat."

"Iye iye, bawel. Dasar jelek!"

"Emang," jawab Sinta cuek. Emang apa salahnya kalo jelek, yang penting kan idup hihihi.

"Jelek, pendek, jomblo!"

"Biarin, asalkan ada yang suka," ejek Sinta sambil menjulurkan lidahnya. Langkahnya sambil berjalan mundur menatap Rama yang dibelakangnya.

"Paling yang suka banci alay."

"Biarin, lagian aku masih muda, daripada kakak udah tua masih jomblo." Rama melotot lagi. Suara cempreng Sinta benar-benar membuatnya malu tingkat dewa sekarang.

Setelah check in dan menunggu sebentar, kini Rama dan Sinta telah berada dalam pesawat. Mereka memutuskan untuk tidur sebentar, menunggu pesawat mendarat sempurna di Indonesia.

Sinta sebenarnya tidak tidur. Diam-diam gadis itu memperhatikan wajah tampan Rama yang sangat sempurna di matanya. Sinta memang sudah lama menyukai bossnya itu, malah sejak pertama kali bertemu. Tapi.... Sinta sadar semuanya hanya bisa ia pendam, kenyataan bahwa Rama dan dirinya yang bagai langit bumi saja membuatnya minder. Ditambah pria itu menyukai gadis lain sejak dulu.

Sinta tersenyum kecil. Didekatkannya wajahnya dengan wajah Rama yang sedang tertidur menghadap ke arahnya. Sinta memejamkan matanya menikmati hembusan nafas teratur Rama. Andai saja ia punya keberanian lebih, pasti sudah Ia cium bibir Rama yang membuatnya berkeringat dingin.

'Biarkan seperti ini saja, cukup seperti ini saja.'

*****

Rama dan Sinta telah tiba, kini mereka sedang berdiri tepat di depan pintu rumah orangtua Rama. Rama sengaja tidak memberitahu orangtuanya bahwa ia balik hari ini.

Tok tok

Tak lama berselang pintu akhirnya terbuka. Di sana menampakkan sosok yang paling dirindukan oleh Rama selama 5 tahun ini. Mata keduanya sama-sama membulat tak percaya.

"Siapa yang datang Ran?" Tanya sosok mama Rama yang datang dari dalam. Rana tak menanggapi, ia hanya fokus menatap sosok yang ia kira sudah mati.

"Rama?!"

"Ehhmm halo ma, kejutan!" Ucap Rama sesantai mungkin lalu memeluk mamanya yang tampak menatap Rana disampingnya. Sedangkan Rana hanya diam tak bersuara.

"Ehh siapa ini?" Mama Rama melepaskan pelukannya pada anak sematawayanya itu. Ia mendekati Sinta yang tersenyum kecil sopan.

"Ohh itu Sinta, sekretaris Rama," jawab Rama santai lalu melirik Rana yang juga tengah meliriknya.

"Halo tante, saya Sinta sekretaris kak Rama," ucap Sinta sopan.

"Yuk nak Sinta, sekalian kita langsung ke dalam banyak piring kotor." Canda Nayla, Mama Rama mengajak Sinta masuk ke dalam rumah meninggalkan dua manusia yang masih saling diam itu. Nayla pikir akan lebih baik jika Rama yang menjelaskan sendiri. Sinta sebenarnya agak gak ikhlas, tapi ia harus berusaha santai.

Setelah kepergian Nayla dan Sinta, Rama mengajak Rana ngobrol di Taman belakang rumahnya. Dan di sinilah mereka, duduk di bawah pohon apel yang dulu mereka tanam berdua.

"Apa kabar?" Itulah kata pertama yang keluar dari bibir Rama.

Rana terdiam, lalu sedetik kemudian ia terisak. "Lo jahat," kata itulah yang pertama keluar dari mulut Rana.

"Iya gue tau, maaf."

"Kenapa? Kenapa lo lakuin ini ke gue?" Tanya Rana yang makin terisak. Rama menarik punggung gadis itu kepelukannya.

"Maafin gue,"

"Hiks... gue.. besok mau nikah."

Rama membulatkan mata lalu sedikit mengendorkan pelukannya untuk menatap mata Rana. "Riki?" Rana menggeleng.

"Waktu itu, gue nolak Riki."

Rama makin terkejut, "kenapa?"

"Karena gue sadar, gue cintanya bukan sama Riki tapi sama lo." Rana memeluk kembali tubuh tegap Rama. Rama hanya terdiam mencerna kata-kata Rana.

Rana mencintai Rama? Lalu apakah Rama juga begitu? Tapi besok Rana menikah, haruskah Rama menggagalkannya?

"Gue cinta sama lo Ram, tapi lo malah pergi waktu itu."

"Maaf."

Dari belakang, tampak Sinta tersenyum kecut. Matanya sudah memerah siap untuk menumpahkan cairan kesedihannya. 'Inilah yang aku takutkan, kamu akan pergi dariku kak.'

Sinta berbalik dan buru-buru mengambil ranselnya. Ia harus pergi, mencari ketenangan.

"Loh? Nak Sinta mau kemana kok buru-buru?" Tanya Nayla yang sedang membawa nampan berisi minuman.

Sinta tersenyum lalu diam-menghapus airmata yang telah tumpah. "Maaf tante, saya ada urusan mendadak. Saya pamit dulu. Assalamu alaikum." Setelah itu Sinta menunduk sopan lalu keluar dari rumah tersebut.

Buk

"Ehh awas jatuh!" Telat...

Kaki Sinta kepeleset di keset kaki di depan pintu. Bokongnya mendarat duluan. Dengan cepat ia dengan rasa malunya melenggang pergi meninggalkan Nayla yang terkikik.

"Walaikum salam," ucap Nayla yang menatap punggung gadis itu sambil tertawa.

'Cemburu toh.'

"Ckck.. Anak muda jaman sekarang." Nayla menggeleng geli lalu meletakkan gelas di meja. Sebelumnya ia cicipi dulu siapa tau salah kasih gula apa garem.

****

Hari ini Sinta sedang bermalasan di kamarnya. Ia benar-benar merindukan suasana rumahnya itu. Bahkan sudah berkali-kali ibunya ataupun adiknya membangunkannya tapi ia malas untuk beranjak. Lagipula ia sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Hatinya sakit.

Sinta mengambil Hpnya di samping bantalnya. Dibukanya sebuah folder rahasia dengan kode sulit di hpnya. Folder itu berisi semua foto Rama yang diambilnya diam-diam dan juga foto berdua dengan Sinta. Sinta tersenyum sambil mengelus foto Rama dengan wajah konyol nan imut dari pria itu.

Tapi... acaranya terganggu saat sebuah telpon masuk di hpnya.

"Kenapa kak?" Cerocos Sinta malas. Ia masih kesal dengan Rama yang kemarin memgacuhkannya.

"Kamu kemarin kenapa kabur? Dasar jelek!"

"Ishh aku kan kangen keluargaku disini jadi balik cepet."

"Gak mau tau, pokoknya 30 menit kamu sudah ada disini. Tak ada penolakan!" Teriak Rama diujung sambungan sebelum bunyi tut tut. Sinta mendengus lalu cepat bangkit untuk mandi.

Jarak rumah mereka memang tidak terlalu jauh. Rama tinggal di perumahan mewah samping kompleks perumahn sederhana tempat tinggal Sinta. Jadi Sinta hanya perlu naik ojek sekitar sepuluh menitan sudah sampe.

****

Sinta mendengus sebal saat Rama mengajaknya kepernikahan sahabatnya Rana. Bahkan pria itu tak hentinya berceloteh tentang Rana. Hal itu mambuat kuping Sinta memanas. Ia tak tahan lagi.

"Hari ini kakak sebenarnya bingung harus ngapain, jujur kakak belum sanggup,"

"Trus?" Sinta menanggapi dengan malas sambil mengunyah cemilan yang dibawanya dari rumah Rama.

"Gimana menurut kamu jika aku membawanya kabur?"

"Uhuk uhuk!"

"Makanya makan tuh pelan-pelan, yang anggun dong kamu kan cewek. Rana aja makan pelan banget." Cukup! Sinta gak tahan lagi.

"Berhenti!" Teriak Sinta yang membuat Rama menginjak rem dadakan. Setelah itu Sinta membuka pintu dan menutupnya kasar.

"Hey, kamu mau kemana?" Rama ikut keluar. Ia mengikuti Sinta yang sedang berlari kecil dan akhirnya berhenti tak jauh dari sana. Tepatnya di sebuah halte yang sepi.

"Hiks hiks...." Sinta berjongkok di pinggir jalan sambil menangis. Mengeluarkan semua yang ia pendam selama ini.

"Kamu kenapa sih? Udah jelek, kalo nangis nanti bakal tambah jel-"

"Emang kenapa kalo aku jelek?" Teriak Sinta yang sudah berdiri dan berbalik menghadap ke arah Rama. Senyum mengejek Rama luntur. Tergantikan pandangan heran. Tumben Sinta marah sampai menangis hanya karena ejekannya.

"Kenapa memangnya kalo aku jelek? Yah aku emang jelek dan gak secantik kak Rana puas? Aku emang gak sefeminim dan selembut kak Rana, puas?"

Rama mematung memandang tak percaya pada sosok Sinta. Tubuh gadis itu bergetar seolah mengeluarkan semua kekuatan dalam dirinya untuk berteriak.

"Kamu kenapa sih?"

"Kakak dulu pernah bilang kan, kalo 5 tahun lalu saat kakak tertabrak mobil dan hampir mati. Saat itu kakak berdoa dalam hati kalo jika kakak mati hari itu, maka besoknya kakak berharap hidup kembali di dunia lain dan ditakdirkan bersama kak Rana selamanya." Sinta menarik nafasnya dan menetralkan tangisannya. Rama hanya diam dan menyimak.

"Tapi buktinya sekarang kakak masih hidup. Jadi... tidak bisakah sebelum waktu itu tiba aku saja yang menemani dan berada di samping kakak? Aku janji gak akan ninggalin kakak, aku gak akan biarin kakak kelaparan, aku akan menuruti semua pinta kakak." lanjutnya sambil mendekat dan memeluk Rama yang masih diam dan mencerna semua kata-kata Sinta.

"Karena... aku cinta sama kak Rama."

Rama makin mematung. Tubuh Sinta juga masih bergetar menandakan gadis itu masih terisak. Keadaan di pinggir jalan itu juga sepi, tanpa suara apapun. Jalan juga lengang, mungkin karena sudah mulai memasuki malam hari.

"Kumohon kak, beri aku kesempatan setidaknya sampai kakak mati, setelah itu aku akan berharap pada Tuhan agar aku tidak terlahir kembali. Cukup sampai di situ saja, aku sudah bahagia."

Rama melepaskan pelukan Sinta ditubuhnya dengan lembut. Ditatapnya kedua bola mata teduh milik gadis itu, matanya penuh dengan kepolosan dan kejujuran. Selama 2 tahun mengenalnya Rama sangat yakin akan kejujuran gadis itu. Bahkan selama sepuluh tahun lebih dekat dengan Rana saja, tapi Rama tidak yakin Rana jujur padanya akan semua hal. Tapi Sinta, gadis itu sangat terbuka.

Rama tersenyum lalu mencium Sinta di pinggir jalan yang sepi itu.

Dan saat itu Rama sadar, hatinya sudah tak sama lagi. Hatinya untuk Rana sudah dicuri oleh seorang gadis yang kini mengisi hatinya.

'Tuhan.. jika aku bisa memohon kembali.. aku ingin jika aku mati nanti, aku ingin dilahirkan kembali bersama dengan gadis jelek ahh gadis yang sangat cantik ini, hanya dia yang aku ingin. Selamanya... amin.'

****

" Kak Apa aku cantik?"

"Sangat cantik sayang."

"Dulu Kakak bilang jelek,"

"Itu karena aku takut kalo aku bilang cantik nanti aku jatuh cinta. Dan emang sih hihihi."

End

Sorry for typo
Enjoy

Kamis, 23 Maret 2017

Second Star

Second Star

Judul Cerpen Second Star
Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta

Hiasan lampu khas pesta tampak begitu menyilaukan di mataku ditambah suara musik yang mengalun keras menggelegar di telingaku mengiringi pasangan-pasangan yang tengah asyik berdansa membuatku merasa sedikit pusing. Ditambah lagi pemandangan menyayat hati yang disuguhkan tepat di depan mataku, dimana orang yang kucintai selama lebih dari 10 tahun tampak sangat bahagia berdansa dengan kekasihnya yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Aku hanya bisa tersenyum miris meratapi nasibku yang begitu menyedihkan ini
Perasaan terpendam yang sudah lama mengendap di dalam hatiku, pada awalnya kuyakini sebagai bunga yang kelak akan mekar sempurna di dalam hatiku, namun justru kini berubah menjadi pisau belati tajam yang perlahan mengiris dan menyayat seisi hatiku
“hey,.. ngelamun aja lo dari tadi” teguran ryan sahabatku yang lainnya membuat lamunanku buyar seketika
“e-ehh itu gue pusing di sini.. pulang yuk” jawabku sedikit gelagapan
“ahh elah.. lo gimana sih belum juga cukup sejam kita dimari udah mau pulang aja, bentar du..” ucapannya kupotong dengan menyumpal bibir cerewetnya itu dengan telunjukku saat mataku menangkap sesosok gadis yang tengah tersenyum ramah kepadaku. Senyum itu, senyum yang akhir-akhir ini melintas tanpa permisi di kepalaku saat pertama kali bertemu beberapa hari yang lalu
“ciiieee… namanya airin dia anak fakultas hukum, cantik ya” ucap ryan setengah menggoda tapi tak kuhiraukan. Aku lantas berdiri saat kulihat airin mengalihkan wajahnya ke arah teman-temannya.
Entah kenapa rasanya aku tak bisa menahan senyumku saat mataku berpapasan dengan matanya
Kurebahkan tubuhku di atas ranjang kayu sederhana yang berada di atap gedung tempat pesta ulang tahun salah satu sahabatku diadakan. Kupasangkan kedua sisi earphone hitam milikku ke telingaku yang mengalunkan lagu lebih indah milik adera yang baru-baru ini menjadi favoritku. Kutatap langit luas yang ditaburi milyaran bintang dan diterangi cahaya bulan yang sedang membulat sempurna malam ini. Kupejamkan mataku berharap mereka semua mampu sedikit meredam gejolak menyakitkan dalam dadaku dan juga perasaan membingungkan akhir-akhir ini tengah kurasakan
Perlahan kubuka kelopak mataku dan Di antara milyaran bintang yang bertaburan di sana mataku menangkap setitik bintang yang berada diantara bintang lainnya. Entah kenapa saat melihatnya seutas senym di bibirku terbentuk meski tipis namun tetaplah bisa sedikit melawan perasaan sesak di dadaku. Perlahan kuangkat tanganku dan kulengkungkan jari telunjuk dan ibu jariku seakan sedang memetik bintang itu, senyumku semakin menjadi
“my star” gumanku pelan dengan senyum yang masih tercetak di bibirku. Terdengar aneh di telingaku sendiri namun membuatku sedikit lega dengan perasaanku saat ini
“jadi, yang mana bintang yang lo sebut my star tadi” suara itu, kutolehkan kepalaku menatap gadis yang entah sejak kapan duduk di sebelahku dan tersenyum menatapku. Senyum itu, senyuman yang 10 tahun terakhir ini menjadi senyum yang ingin selalu kulihat di bibir manisnya itu sebelum senyum hangat yang kudapati sejak beberapa hari terakhir ini membuatku nyaris lupa akan senyuman manis yang kini kulihat.
Aku balas tersenyum lalu mengarahkan tatapanku dan menunjuk ke arah satu bintang yang bersinar sangat redup jika dibandingkan bintang di sekitarnya. Kulihat dia mengernyit bingung dan aku tau arti kebingunannya mengarah kemana. Kutarik nafas dalam-dalam lalu dalam satu tarikan nafas kukatakan tenang sambil tersenyum
“saat ini bintang itu masih sangatlah redup jika dibandingkan dengan yang lainnya, namun kelak aku akan membuatnya menjadi bintang paling terang dan indah yang pernah kulihat sepanjang hidupku”
Kutatap wajahnya yang hanya diterpa cahaya bulan yang tipis, dia tersenyum mendengar kata-kata yang keluar dari mulutku. Aku ikut tersenyum bersamanya. Dialah bintang pertamaku, bintang mengajariku segalanya. Mulai dari apa itu rasanya jatuh cinta, rasa sayang, dan rasa sakit secara bersamaan. Dan dia jugalah yang membuatku mengerti bahwa sesudah angka pertama ada kedua dan seterusnya.
Dan karena itulah sekarang aku sadar bahwa dia bukanlah bintang yang diciptakan tuhan untukku. dia bukanlah bintang terakhirku namun tetap menjadi salah satu bintang yang pernah mengisi hari-hariku
`terima kasih.. terima kasih karena kau telah jadi bintang yang pernah menempati ruang di hatiku meski hanya sementara dan tidak menjadi bintang terakhirku. Tapi karenamu aku bisa mengerti bahwa yang pertama tidak selamanya menjadi yang terbaik dan satu-satunya karena masih ada yang kedua dan seterusnya. Kita tidak tau takdir tuhan untuk setiap umatnya yang pasti berbeda-beda dan mungkin inilah takdirku dan akan kuterima itu dengan lapang dada. Karena kini aku sudah menemukan bintang keduaku meski masih sangat redup tapi kuyakin suatu saat akan bertambah terang…. Semoga’
Cerpen Karangan: Bhara
Blog: Bhara.rifal[-at-]mywapblog.com
full name: Bhara rifal
address: makassar
fb: Bhara Rifal
Watty: @seranggamungil

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/second-star.html

My Last Star



My Last Star

Judul Cerpen My Last Star
Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta

“ahh… capek” kuhempaskan tubuhku di atas kasur kesayanganku. Hari ini Sungguh hari yang sangat melelahkan buatku, bukan hanya secara fisik. Tapi juga secara emosionlku benar-benar terkuras di pesta tadi. Rasanya aku benar-benar terkena dilemma seperti yang dirasakan kebanyakan abg labil jaman sekarang.
“akkhhh..!” aku mengacak rambut hitamku frustasi. Bintang kedua..? bullsh*t jika kukatakan aku tak lagi mengharapkannya. Mungkin aku sudah sedikit tertarik dengan gadis pemilik senyum manis yang akhir-akhir ini memenuhi otakku. Namun kenyataannya tetaplah sama, menghapus rasa cinta tidaklah semudah menghapus tulisan di papan tulis. Jangankan dalam waktu semalam saja, bahkan bertahun-tahun pun tidaklah mudah.
Masalah ini benar-benar membuatku nyaris gila. Perlahan kucoba menutup mataku, berharap rasa kantuk akan menghapus setidaknya untuk sementara masalah yang membebaniku ini. Ya allah, tunjukanlah jalan terbaik untuk hambamu ini. Agar kelak aku tak menyesal dengan keputusan dan langkah yang kutempuh nanti. Jujur aku bukanlah pria kuat seperti superman, sekuat-kuatnya aku menahan sakit ini, toh juga akan ada saatnya dimana aku tak bisa lagi menahannya.
“akkhhh…!!” Teriakku panik saat melirik jam di nakas. Gimana tidak disana terpampang jelas 7:32, yang berarti aku hanya punya waktu kurang dari 30 menit untuk ke kampus. Sekedar info aku masuk jam 8 hari ini, mana yang ngajar dosen killer lagi. Tamatlah riwayatku hari ini.
Dengan cepat kuseret tubuhku yang masih loyo ini ke kamar mandi, setidaknya cuci muka dengan sabun juga cukup. Dengan terburu-buru kubasuh wajah kusamku di wastafel lalu dengan cepat kuberlari mencari baju untuk kukenakan hari ini.
Aku keluar dari kamarku dengan keadaan yang sangat memprihatinkan, kancing baju yang belum seluruhnya terpasang, rambut acak-acakan, tas berantakan dengan keadaan menganga.
“loh.. di, mau ke mana kok buru-buru gitu sampe pakaian aja masih berantakan gitu” ucap ibuku tercinta. Aku hanya nyengir lalu kuhampiri beliau dan kukecup singkat pipinya
“adi mau berangkat kuliah dulu bun, udah telat banget nih. Bye assalamu alaikum” ucapku sambil mencium tangannya.
“walaikum salam, kamu gak sarapan dulu emangnya?” tanyanya lagi. Aku menggeleng lalu segera berlari menuju motorku di garasi.
“hti-hati.. jangan ngebut” kudengar lagi teriakan ibuku dari dalam rumah saat aku hendak berangkat.
Di sekolah…
“aishhh… sial” gerutuku saat kulirik jam tangan yang melingkar di tangan kananku. Bagaimana tidak kesal coba, sekarang ini aku sudah telat 20 menit, padahal jarak rumahku ke sekolah hanya sekitar 2 km. bukannya aku tidak menancap gas motorku untuk cepat, namun apa daya jalanan ibukota sangatlah padat.
Aku berlari secepat mungkin menuju kelas tempat mata kuliahku hari ini berlangsung. Capek tak lagi kupikirkan, meski harus menempuh 3 lantai, tapi aku tetap semangat untuk sampai setidaknya lebih baik dari minggu lalu. Minggu lalu aku telat 32 menit, dan aku diceramahi habis-habisan.
Brukk
“akhh” jeritku saat tubuhku oleng dan berakhir tengkurap di lantai. Ditambah lagi sesuatu yang sangat berat jatuh di atas tubuhku.
“ohh sorry sorry gak sengaja” ucap bimbo, salah satu gajah duduk di kampus ini.
“sorry pala lu peyang… remuk nih pinggang gue. Untung gak encok gue” omel ku udah kayak emak-emak dekat komplek rumahku. Gimana gak kesal coba, udah telat eh malah ditubruk gajah melar gitu.
“iya kan gue ud..” “ahh udah minggir lu sana, telat nih gue” kudorong dia agar sedikit menyingkir dari hadapanku.
Sreet..
Kutendang segala model rerumputan yang ada ditaman ini dengan kesal. Entah cobaan apa yang telah diberi tuhan untukku hari ini. Udah telat, kena tubruk sama si gembul bimbo, eh sampe kelas malah dapat pencerahan yang menguras emosi pagi-pagi. Tapi setidaknya masalah ini membuatku sedikit melupakan masalah semalam.
Di sinilah aku sekarang, di taman belakang kampus yang sepi. Setidaknya aku bisa tenang untuk sejenak di sini. Kurebahkan tubuhku si atas rumput hijau yang cukup terawat ditaman ini. Seperti biasa saat aku pusing aku memasang earphone hitamku ke telingaku, dan mata terpejam menikmati alunan musik dari ponselku.
Tak kurasa aku sudah lama berbaring di sini sampai tertidur. Aku terbangun saat kurasakan seseorang mengusap rambutku.
“hei” sapanya kikuk, saat aku bangkit dan melepas earphoneku lalu menatapnya bingung.
Dia tersenyum. Oh tuhan, aku sampe lupa kalau dia adalah pemilik senyum yang beberapa hari ini membuatku nyaris gila. Dan apa sekarang? Dia sedang duduk dan menatapku sambil tersenyum.
“h-h-hai” oh tuhan, kenapa dengan tenggorokanku ini. Kenapa terasa kering sekali dan susuh untukku bersuara.
“aku airin, kamu adi kan?”
“iya” entah kenapa aku jadi hemat kata-kata seperti ini. Apa voucher kata-kataku sudah hampir habis jadi kudu hemat begini ya. “semalam kamu kemana? Kok ngilang gitu aja?” “ahh, i-itu semalam lagi pusing jadi pulang cepet” bohongku, padahal akulah yang pulang paling akhir karena sibuk memandangi langit di atap gedung.
“oh gitu, padahal semalam aku liat kamu tiduran diatap sampe tengah malem” refleks aku menoleh dengan mata membulat. Astaga malu gila aku sekarang. Tapi bagaimana dia tau ya. Apa dia seorang peramal?.
“aku bukan seperti yang kamu pikirkan itu. Aku tau karena aku juga di sana bersamamu dan pulang saat kau juga pulang” lagi, mataku kini seakan ingin loncat dari tempatnya.
“j-jadi, k-kau d-di..”
“iya, aku mengikutimu dan melihatmu bahkan mendengar semuanya” dia tersenyum. Oh ya tuhan apa-apaan ini, jantungku berdisko ria. Padahal semalam waktu pesta saja tidak seperti ini.
“di” “ehm” aku menoleh. Dia menatapku serius lalu seutas senyum kembali tercetak di bibirnya. Kenapa dia mudah sekali tersenyum sih, mana manis lagi.
“tidak bisakah kau lupakan dia dan melirik orang yang lebih memperhatikanmu selama ini?” aku tertegun mendengar pertanyaan atau semacam permintaan itu.
“ma-mak-maksudnya?” “aku. Aku mencintaimu di, tidak bisakah kau melirikku sedikit saja” lagi-lagi aku hanya bisa menelan ludahku dengan susah payah. Baru kali ini aku dapat pernyatan cinta dari seseorang untukku. Jantungku kini semaki memacu aliran darahku dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Kutarik nafas dalam-dalam. Kutatap ke dalam manik matanya yang biru. “apa jika jantung kita berdetak sangat cepat saat berhadapan dengan seseorang itu tandanya jatuh cinta?” ucapku seraya memegangi dadaku yang berdetak cepat.
“apa?” dia sedikit bingung dengan pertanyaanku. Dia ikut memegangi dadanya
“sepertinya” “kalau begitu sepertinya aku juga mencintaimu” ucapku tersenyum malu-malu sama sepertinya yang juga tersenyum dengan rona di pipinya.
Terima kasih ya tuhan, karena engkau telah memberiku sedikit titik terang atas rasa sakit yang selama ini kurasakan. Kini aku berjanji akan selalu menjaga kepercayanmu akan bintang yang kau tunjukkan padaku. Airin.. meski kau bukanlah bintang pertama dalam hidupku tapi kuharap kau akan menjadi bintang terakhirku.
Cerpen Karangan: Bhara Rifal
Blog: Bhara.rifal@mywapblog.com
full name: Bhara rifal
fb: bhara rifal
masih belajar menulis, jadi mohon maaf kalo jelek.
my wattpad: @seranggamungil

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/my-last-star.html

Rabu, 02 November 2016

love after the rain



                                                               LOVE AFTER THE RAIN

Kerlap-kerlip lampu taman , serta tangisan langit malam mengiringi kesedihan hati seorang gadis. Gadis itu duduk menatap tanah yang basah, seperti matanya yang kini basah kuyup. Bukan karena hujan, namun arimatanya yang terus menerus mengalir bersamaan turunnya hujan.
  Gadis bernama gina itu terus saja menangis  Sejak kejadian dua jam yang lalu. Dimana kekasihnya memutuskan pergi begitu saja, meninggalkannya sendiri, setelah tau ia hamil. Kesedihannya memuncak mengingat kenyataan dimana ia mengandung diluar nikah. Apa yang akan ia katakan pada kedua orang tuanya nanti, sanggupkah ia melahirkan anaknya itu tanpa ayah?. Deretan bayangan akan kenyataan yang akan dia hadapi nantinya semakin menyiksa gina.
“na.” panggil seseorang bersuara berat yang kini berada disampingnya. Gina mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk, ia menatap pria pemilik suara berat tersebut. Pri dengan tubuh tinggi itu tampak lelah dan sedih dengan payung ditangannya. Payung itu dipegangnya untuk melindungi gina dari dinginnya hujan malam. Meski itu artinya sebagian dari tubuhnya harus basah karena hujan. Ya, sedari tadi gina tidak kehujanan, dari tadi arga setia memayungi gadis itu tanpa lelah.
“udah yuk, pulang udah malem” arga mengusap wajah sembab gina. Dia menghapus airmata gina yang tak hentinya turun membasahi pipi mulusnya.
Gina masih tak bergeming, isakannya masih terdengar diantara rintikan hujan yang menumpah ke bumi.
“mau sampe kapan kamu kayak gini? Dia udah mutusin buat pergi, dan kamu gak perlu nangisin pecundang kayak dia. Ucapan arga serasa menusuk pikiran gina.
“ga” panggil raina menatap wajah arga dengan tatapan sembbnya. Kini mereka berada didalam mobil arga, setelah dua jam lebih menghabiskan waktu di taman.
“kenapa?” arga menghentikan laju mobilnya di pinggir jalan sebelum menjawab gina.
Arga menatap gadis disampingnya itu. Gadis bermata coklat yang merupakan sahabatnya sekaligus cinta pertamanya sampai sekarang. Arga ingin sekali memeluk gadis yang dicintainya itu, tapi ia takut akan membuat gina risih. Dan kenyataan bahwa gina mencintai pria lain dan bahkan mengandung anaknya, membuat hati arga sakit.
“gue takut ga, gue hiks.” Lagi, gina menangis seraya menunduk. Arga memberanikan diri merengkuh tubuh gina yang mulai bergetar menahan tangis.
“ssstt.. tenang, ada aku. Jika kamu mau, aku siap buat tanggung jawab atas anak yang kamu kandung” dina melepaskan pelukan arga, ditatapnya mata arga
“ma-maksud lo apa ga?”
“aku mau kamu jadi istri aku, jadi orang tua anak kamu kelak”
~~~~
“kamu yakin ga?” tanya ayah gina ke arga. Saat ini arga, gina beserta kedua orangtua gina berada di ruang keluarga rumah gina.
“iya ga, kamu yakin?” ibu raina ikut bertanya
“iya om, tan. Saya yakin. sangat yakin”
“baiklah kami kembalikan ke gina, gimana na?” gina tersentak , jujur sja dia tak terlalu memperhatikan dan mendengarkan  pembicaraan antara orangtuanya dan arga. Ia masih bingung, antara senang dan juga merasa bersalah. Senang karena kenyataan nanti anaknya akan terlahir dengan adanya ayah. Dan rasa bersalah karena telah menarik arga kedalam masalahnya.
Dengan ragu gina mengangguk lalu menatap arga yang tampak tenang dan serius.
“baiklah, kami setuju, iya kan ma?”
“iya” arga tersenyum ramah, meski dengan kenyataan yang menyakitkan arga tetap senang bisa menikahi gina.
“baik om, besok ayah dan bunda bakal kemari buat lamaran secara resmi”
~~~
“saya terima nikah dan kawinnya ardianita gina binti rama al rasyid dengan mas kawin tersebut dan seperangkat alat sholat dibayar tunai” suara lantang dan berat arga menggema dengan satu tarikan nafas.
gimana para saksi, sah?” tanya bapak penghulu kepada para keluarga yang hadir
“sah”
“alhamdulillah” ucap penghulu itu lega.
Gina menatap sahabatnya yang kini resmi menjadi suaminya itu. Pria tampan itu tersenyum manis kearahnya. Senyum yang selalu menjadi buruan para gadis diluar sana, karena arga yang jarang tersenyum. Tapi bagi gina senyum itu sudah biasa dilihatnya.
Gina merebahkan tubuhnya dikasur king size apartemen arga. Setelah resepsi melelahkan disebuah hotel pilihan mamanya, arga dan gina memilih pulang ke apartemen arga. Selain jaraknya yang dekat, arga juga tau kalo gina masih belum siap.
“hey, belum tidur?” sahut arga yang berada diambang pintu. Gin menatap suaminya itu kaget. Bukan apa-apa, tapi ini pertama kalinya ia melihat arga yang bertelanjang dada.
“oh, maaf aku hanya ingin ambil handuk” arga melangkah menuju lemarinya. Kemudian meraih sebuah handuk.
“tidurlah, aku akan tidur diluar. Good night” ucap arga sebelum keluar dan menutup pintu. Gina masih terdiam. Rasa bersalah kembali menghampirinya. Setelah menarik arga kedalam masalahnya, ia juga seakan membuat arga tersiksa diapartemennya sendiri.
“sorry ga, sorry” setetes airmata kembali jatuh, tapi kali ini bukan karena kekasihnya yang meninggalkannya. Tapi karena rasa bersalahnya ke arga.

Minggu pagi, gina terbangun dari tidurnya setelah mendengar ketukan dipintu kamarnya. Tak terasa seminggu sudah , ia tinggal di apartemen ini dan menjadi istri arga, sahabatnya sendiri. Seminggu itu pula gina mengurung diri dikamar. Ia hanya akan keluar saat waktunya makan. Masak? Tentu saja arga yang memasak. Setiap hari sebelum berangkat, arga selalu menyempatkan dirinya memasak untuk sarapannya dan gina. Dan siangnya arga sudah memesan dan berlangganan dengan restoran siap saji dekat gedung apartemennya. Sebenarnya gina merasa tidak enak dengan arga. Tapi gengsi dan egonya sangat tinggi untuk sekedar meminta maaf.
Dengan sedikit malas, gina berjalan dan meraih knop pintu lalu membukanya.
“hay, aku ganggu?” Tanya arga seraya tersenyum manis. Gina menggeleng. Jujur saja ia terpaku pada senyuman arga yang semakin hari semakin manis menurutnya.
“mau jalan?” gina menatap mata arga yang menampilkan tatapan berharap. Tak ada salahnya jika hari ini dia refreshing. Dan setidaknya ia tak lagi mengecewakan arga.
Gina mengangguk. “ok, siap-siap. Aku tunggu diluar” ucap arga tersenyum dan mengusap puncak kepala gina. Setelahnya, arga meninggalkan gina yang masih diam.
~~~
Arga menghentikan mobilnya disebuah  jalan bertebing  dipinggir laut. Terlihat hamparan laut luas dari atas tebing yang begitu indah dimata gina. Jika kalian pernah menonton drama korea descendant of the sun, dimana tempat yang indah di urk yang sering dikunjungi kapten yoo. Seperti itulah kira-kira gambaran tempatnya. Dengan mata berbinar, gina keluar dari mobil arga. Gina berlari kecil menuju tempat yang menurutnya pas untuk menikmati keindahan tempat itu.
“kamu suka?” tanya arga yang berdiri disamping gina dan menatap gadis itu intens.
“suka, suka banget!” seru gina semangat. Dia menatap arga yang juga sedang menatapnya. Mata mereka saling beradu, keduanya seperti terhipnotis dengan mata masing-masing. Namun, arga memalingkan pandangannya lebih dulu. Dia menatap langit yang terlihat sangat dekat dengan laut, tapi pada nyatanya sangat jauh dan tak akan pernah menyatu. Seperti ia dan gina, meski ia dan gina suami istri dan sangat dekat. Namun, kenyataannya arga merasa sangat jauh dengan gina. dan selamanya gina tak akan pernah mencintainya seperti halnya langit dan bumi, tak akan menyatu. Bumi hanya bisa memandang langit. Sangat miris.
“ga, makasih ya dan maaf”
“buat?” ucap arga lalu menatap gina. Mata mereka kembali beradu. Angin laut yang terus berhembus seakan membuat helaian rambut gina berterbangan dengan lembut diwajahnya.
“makasih untuk semuanya, dan maaf juga untuk semuanya” tanpa gia duga, arga memeluknya, pelukan yang yang hangat seperti pertama kali arga memeluknya. Namun, aneh. Kini rasanya berbeda, gina merasa sangat nyaman dengan pelukan arga. Tanpa sadar gina membalas pelukan arga.
“gak papa, aku gak pernah nyesal karena pernikahan ini. Aku malah senang karena bisa menikah dengan orang yang kucintai sejak dulu. Meski aku tau kamu gak pernah cinta sama aku.” Arga mempererat pelukannya, airmatanya jatuh saat mengatakan itu. Sedangkan gina mematung, ia tak tau harus berkata apa. Arga mencintainya sejak dulu?.

8 bulan kemudian
Arga masih berkutat di depan komputerya dengan serius, padahal sudah sangat larut.
“ga, udah larut banget nih. Lo gak mau pulang?” ucap riki sahabat arga dan sekaligus teman kantor arga.
“iya nih, masih nanggung banget, lo duluan aja”
“ga, gue tau lo cinta banget sama istri lo itu, tapi lo gak harus sampe segininya juga ga. Dan gue denger iwan udah ada dijakarta buat jemput gina sama calon bayinya”  ucapan riki membuat arga menghentikan kerjanya. Dia diam menghadap komputernya dengan tatapan kosong. Jantungnya mencelos, kenyataan bahwa istrinya yang tak membalas cintanya saja sudah sangat menyakitkan. Kini dia harus rela jika gina pergi bersama orang yang selama ini ditunggu dan dicintainya.
“gue gak mau lo tambah sakit hati ga, lo itu tampan dan punya karir yang jelas. Banyak cewek diluar sana yang bersedia jadi pendamping lo dan yang pastinya cinta sama lo.” Riki menarik nafasnya dalam
“gue Cuma ngingetin lo ga, yaudah gue duluan” riki menepuk pundak arga lalu pergi meninggalkan arga yang masih diam. Dia diam karena menahan sesak didadanya yang sangat terasa menyakitkan. Riki benar dia memang harus rela jika gina pergi. Itu sudah jadi janjinya dulu saat dia ingin menikahi gina pada dirinya sendiri.
Didalam aparteman arga, gina sedang mondar-mandir menunggu suaminya yang tak pulang juga. Perutnya yang sudah sangat besar membuatnya sedikit kesusahan untuk bergerak cepat. Dan entah kenapa akhir-akhir ini dia jadi sering merindukan suaminya itu, mungkin juga karena pengaruh calon bayinya yang sudah menginjak usia tua.
Pintu apartemen terbuka dan menampilkan sosok arga dengan wajah lelahnya.gina menghampiri suaminya itu dan memeluknya.
“hey, kok belum tidur?” tanya arga sambil mengusap rambut gina yang panjang.
“gue kangen lo ga,”  ucap gina yang membuat arga terkekeh. Ia melepaskan pelukan gina lalu mencium kening istrinya.
“yaudah, aku belum mandi lo, bau nih”
“ishh jorok, yaudah sana mandi, abis itu makan” ucap gina sambil mendorong tubuh arga yang melebihi tinggi badannya. aRga tersenyum  melihat tingkah istrinya.
~~~
Hari ini hari ulang tahun gina, dan arga membawanya kesuatu tempat dengan alasan akan memberinya hadiah istimewa. Setelah menempuh perjalanan sekitar sejam, akhirnya mobil arga berhenti disebuah rumah besar yang mewah. Pekrangannya saja sangat luas dan sipenuhi berbagai macam jenis bunga mawar kesukaan gina.
“ga, ini rumah siapa?” tanya gina saat turun dari mobil arga
Arga mendekati gina dan mengelus kepala gina dengan sayang.
“ini hadiah buat kamu dan calon anak kamu” ada nada kesedihan disuara berat arga saat ia mengatakan itu. Ia ingin sekali menyebut anak`kita’ namun ia tau diri.
“Hah? Jadi ini rumah kita ga,?” tanya gina semangat, jujur saja ia senang , ia bahagia mengetahui arga membeli rumah mewah ini.
Arga menggeleng “bukan, ini rumah kamu” arga merasa sangat sakit didadanya saat mengatakan itu.
“maksudnya? Inikan rumah lo yang beli, usaha lo lembur selama ini dan lo suami gue jadi, ini rumah kita. Lo sama gue ga,” ucap gina menatap mata arga yang tampak tak seperti biasanya. Mata itu terlihat lelah dan sedih.
“bukan, ini emang aku beli khusus buat kamu dan calon bayi kamu.” Arga memberi jeda sejenak lalu melanjutkan kalimatnya “ini hadiah buat ultah kamu sekaligus kenang-kenangan dari aku buat kalian” setitik airmata jatuh dari mata coklat arga. Gina makin heran dengan sikap arga.
“apa maksud lo ga, gue gak ngerti? Kalo bukan kita trus lo mau gue tinggal sendiri dirumah segede ini”  gina sedikit bergetar, dia sedih mendengar arga mengatakan hal tadi. Dia benar-benar tak mengerti sikap arga.
“coba liat belakang kamu” ucap arga sambil membalikkan badan gina
Mata gina terbelalak melihat seorang pria bertubuh hampir sama dengan arga.
“hai sayang, aku balik buat kalian, kamu dan calon anak kita” airmata gina jatuh melihat pria yang dulu pernah meninggalkannya saat ia butuh, dan kini ia kembali. Kembali setelah lama menghilang dan meninggalkan luka buat gina.
“aku pergi” arga mengusap puncak kepala gina lalu pergi dari sana. Ia sudah tak sanggup dengan rasa sakit didadanya. Dia butuh ketenangan saat ini.
~~~
Sama seperti 8 bulan yang lalu, ditaman yang sama, hujan juga sedang turun mengguyur bumi. Bedanya jika dulu arga menemani dan memayungi gina, kini arga lah yang duduk di bangku taman sendirian. Tubuhnya basah, tak ada yang menemaninya dan memayunginya. Ia menangis dalam diam, menangisi kisahnya yang menyedihkan, menangisi kekalahan dan kebodohannya.
“aku cinta sama kamu na, aku sayang sama kamu. Apapun asal kamu bahagia bakal aku lakuin, meski ku harus mati sealipun. Ahh!!” teriak arga seraya mengusap kepalanya kasar. Sebenarnya tadi ia berharap gina akan menahannya dan memintanya untuk tetap bersamanya. Namu n, nihil gina diam dan tetap menatap iwan.
“ga,” tubuh arga tegang mendengar suara gina. Reflek ia membalik badan.
“na, kamu kenapa disini dan sejak kapan disini” dengan cepat arga menghampiri gina. Arga melepas jaketnya yang basah dan memakaikannya ketubuh gina.
“ga, jangan pergi gue mohon” suara gina bergetar. Gadis itu menangis.
“hey kamu nangis? Kamu kenapa bisa kesini?” tanya arga khawatir. Gina memeluk arga erat membuat pria itu bingung
“jangan tinggalin gue ga, gue cinta sama lo” jantung arga berdetak kencang. Hujan berhenti mengguyur.
“ma-maksud k-kamu apa?”  ucap arga gugup. Gina makin mengeratkan pelukannya, tak peduli dengan perutnya yang besar.
“gue cinta sama lo ga, gue cinta sama lo” itu malah berbentuk teriakan gina.
“tapi bu-bukanya kamu-“ kalimat arga putus karena gina memotongnya
“gak! Gueudah lupa dan nyesel pernah cinta sama si br*ngs*k itu” arga senang, ia sangat bahagia. Arga harap ini bukanlah mimpi. Mimpi yang hanya akan semakin membuatnya jatuh semakin dalam.
Arga melepas pelukan gina. Ia menatap mata gadis itu dengan tatapan serius. Dia perlu tau dan memperjelas bahwa yang didengarnya bukanlah mimpi belaka.
“benarkah?” gina mengangguk malu ditengah dinginnya suhu mala ditambah tubahnya yang basah. Arga menangkap wajah gina dengan cepat dan mendaratkan ciuman dibibir istrinya. Ciuman pertama, setelah 8 bulan sudah mereka menikah. Pertama namun berlaku sebagai awal dari ciuman berikutnya kelak.

Saat hujan, kisah mereka dimulai, dan saat hujan reda semuanya terungkap. Jika dulu kesedihan yang dirasakan gina dan arga dimulai saat hujan, hujan menjadi awal bencana dan tangisan yang mewarnai hidup mereka. kini kesedihan itu mengalir bersamaan dengan redanya hujan malam ini, hujan yang menjadi saksi kisah mereka . Setelah hujan kebahagiaan itu datang , cinta yang selama ini arga tunggu dari seorang gina akhirnya tumbuh, tumbuh dan mekar sebagai buah penantian dan pengorbanannya selama ini. Sungguh kisah yang menarik bukan?, kisah cinta setelah hujan.
END

Love after the Rain
Cerpen sederhana karya : Bhara Rifal
Genre : Drama, Romance
Panjang : 2.223 words
Profil penulis :
        Full Name : Rifaldi
        Nick Name : Bhara
        Social media account : fb : Bhara Rifal
                                                 Twitter : @Bhara_lvi
                                                 Web : B-star_Arts.mywapblg.com
                                                             B-star&Arts.blogspot.com
                                                 E-mail : Bhara.star@gmail.com
        Study : mahasiswa di universitas Indonesia timur, jurusan management

Like pencil and eraser

LIKE A PENCIL AND ERASER Karya Bhara Rifal Kita bagaikan sepasang pensil dan penghapus, berbeda sifat dan beda fungsi namun saling membutu...